Tuesday, 19 August 2014

I Love My Hijab



Saya ketika talk Show bersama para Selebriti Berhijab
 Setiap muslimah, pasti punya perjalanan hijab yang berbeda-beda. Ada yang dari awal hingga saat ini selalu istiqomah, namun tak sedikit pula yang kemudian memilih buka-tutup hijab dengan dalih kenyamanan. Yang lebih parah lagi, ada yang kemudian memilih menanggalkan hijabnya karena merasa ‘tak mampu’ dan menganggapnya sebagai sebuah ‘beban’.
Saya pribadi, punya pengalaman sendiri dengan hijab. Saya kali pertama berhijab ketika masih duduk di bangku SMP kelas 3 (saat itu tahun 1992). Kala itu, hijab masih dianggap sebagai sesuatu yang asing di negara kita. Mereka yang berhijab dianggap golongan muslim beraliran ekstrim. Mereka yang berhijab juga dianggap kuno dan negatif.
Karena itu, tak usah heran jika ada seorang muslimah yang berhijab dianggap jelek dan bakal dikucilkan. Berjalan di kerumunan dianggap aneh dan tidak menarik. Begitu juga dengan saya saat itu. Ketika berada di sekolah, saya merasa semua mata seolah tertuju kepada saya dengan pandangan penuh tanda tanya. “Ada apa denganmu? Kok menutupi seluruh tubuh dan rambut?”  Karena itulah, dua minggu setelah berhijab, saya pun menyerah dan membuka hijab saya.
Entah mengapa, setelah membuka hijab, saya justru dilanda ketidaknyamanan luar biasa. Bukan kebebasan yang saya rasakan, sebaliknya, saya justru merasa telanjang. Bila sebelumnya saya risih dengan pandangan aneh teman-teman sekolah saya karena berhijab, justru rasa risih itu muncul dari diri saya sendiri. Bukan cemoohan dari teman-teman sekolah saya, namun saya merasa dicemooh oleh diri sendiri, “Ternyata nyali saya hanya sebatas itu.”
Seminggu kemudian, kegundahan itu membuat saya kembali memutuskan untuk berhijab hingga saya lulus sekolah. Masuk SMA, ternyata saya kembali mendapat kendala soal hijab. Sebab, peraturan sekolah tidak membolehkan mengenakan hijab ketika berolahraga. Padahal, seragam olahraganya berupa celana pendek dan kaos berlengan pendek pula.
Saya pun ‘memanipulasi’ baju olahraga dengan tetap memakai celana panjang dan berhijab. Alhasil, saya dilarang mengikuti mata pelajaran olahraga. Berkali-kali pun saya dipanggil karena dianggap melanggar peraturan sekolah. Saya pun terancam diskors jika tetap berhijab ketika mengikuti pelajaran berolahraga.
Namun itu dulu, ketika hijab masih dianggap asing di masyarakat kita. Ketika hijab masih dianggap kuno karena modelnya hanya itu-itu saja, walau sebenarnya esensi hijab adalah sebuah kewajiban, bukan sekedar fashion. 

Bahagianya bisa menghargai Hijab kita
Yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Kesadaran umat Islam untuk semakin memperlihatkan identitas dirinya, membuat saya tersenyum bahagia. Sebab, semakin banyak wanita memilih menutup aurat dan mengulurkan hijabnya. Saya pun semakin bangga, sebab sekolah yang dulu pernah memberi kenangan tersendiri soal hijab, kini justru sangat mendukung siswinya berhijab.
Saya juga makin gembira, karena hijab kini sudah bisa hadir dan diterima di mana-mana. Bahkan, para public figure, selebriti, bahkan tokoh ternama pun memilih hijab menjadi bagian dari hidupnya. Saya juga makin bersorak, karena hijab tak hanya membawa kenyamanan bagi pemakainya, namun juga memberikan kesuksesan luar biasa bagi si pemakai maupun lingkungannya.
Itulah yang membuat saya makin cinta berhijab. Itu pula yang kemudian membuat saya bersyukur karena diberi kesempatan mengenal hijab lebih awal. Dengan demikian, saya bisa mengarungi perjalanan hijab hingga saat ini.  Hijab tak hanya membawa perubahan hidup saya menjadi lebih baik, namun, hijab adalah kewajiban yang telah ditetapkan Allah kepada hambanya.
 
Jika Anda punya perjalanan hijab yang sama dengan saya, semoga hal itu menjadi bagian dari kenangan buruk yang tak perlu diulang. Sebaliknya, semoga  kisah itu membawa hikmah yang membuat kita tetap berhijab. Sebab, hijab sebenarnya bukan sekadar penampilan lahiriah dan fashion semata, namun komitmen dan kehormatan kita sebagai muslimah.

@aimeeharis

No comments: