Pada satu titik, saya
merasa seperti seorang ibu yang baik. Bangun sebelum subuh, kemudian menuju
dapur, menyalakan kompor untuk mendidihkan air. Tak lama kemudian, adzan subuh
berkumandang. Saya menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Menunaikan dua rakaat
untuk shalat subuh di awal waktu membuat segala sesuatu dalam diri serasa
begitu nikmat. Setelah salam terakhir dan berzikir sebentar, bergegas saya
menuju ke dapur, mematikan kompor karena air yang saya masak sudah mendidih.
Saya tuangkan 2 sendok teh
penuh kopi hitam ke dalam sebuah cangkir yang telah saya lapisi ‘lepek’. Setelah
itu, saya tambahkan 3 sendok teh gula ukuran sedang ke dalamnya. Itulah racikan
kopi kesukaan suamiku. Kemudian, saya tuangkan air panas yang telah mendidih
tersebut ke dalam cangkir. Hmm, sesaat kemudian, semerbak aroma kopi yang
nikmat sudah mampir di hidungku.
Selesai mengaduk
secangkir kopi manis untuk suami, saya langsung menyiapkan gelas yang lain
untuk membuat teh manis hangat untuk lelaki kecilku. Dia adalah buah hati
semata wayangku. Bisa ditebak, karena dia anak tunggal, maka seluruh kasih
sayangku bertumpu padanya. Apa yang disukainya, saya selalu tahu. Apa yang
dipikirkannya, saya pasti bisa menebaknya.
Andai boleh berpikir
muluk, saya pasti akan mengatakan jika jagoan kecilku yang kini sudah berusia
10 tahun ini adalah hidupku. Bagi saya, dia adalah sosok penyemangat dan energi
yang membuat saya tetap hidup. Senyumnya, cerianya, tertawanya bahkan ngambeknya
seolah semua menjadi surga bagi saya.
Saya jadi ingat, ketika
suami saya protes karena cemburu dengan sikap saya yang sering mendahulukan anak
tunggal saya daripada dia. Dengan merajuk, dia bertanya kenapa sekarang dia
menjadi nomor dua setelah anakku. Menyediakan makanan selalu setelah anak,
bahkan menemani tidur, selalu menunggu saya selesai bercengkerama dan si kecil
terlelap dalam tidur.
Sikap inilah yang membuat suami
saya langsung berkesimpulan, “Ternyata memang benar kata orang. Jika sudah
punya anak, suami atau istri menjadi nomer dua,” ujarnya.
Ah, rasanya jadi tambah
tersipu jika ingat itu semua. Saya pun meraih gelas yang berada di atas rak
dapur. Gelas kaki ukuran tanggung berwarna bening kaca pun telah bertengger di
atas meja. Sambil menuangkan air panas, saya langsung menyambar sebuah teh
celup dan saya celupkan ke dalam air panas dalam gelas tersebut hingga airnya
berwarna kuning kecokelatan. Ini tanda teh telah siap tercampur dengan air. Setelah
meletakkan ampas sisa teh celup ke dalam wadah, saya pun menuangkan tiga sendok
teh gula ke dalam gelas. Aduk-aduk, dan jadilah teh manis panas yang siap
diminum.
Sesaat saya menengok jam
dinding yang menggantung di ruang keluarga. Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Saya
pun bergegas mengambil secangkir kopi dan segelas teh tersebut dan
meletakkannya di meja makan yang berada di antara dapur dan ruang keluarga.
Setelah itu, langkah kaki
saya segera saja menuju kamar tidur anak. Setelah membuka pintu, saya langsung
menghampiri ‘seonggok daging’ yang terbujur indah di atas kasur biru yang
empuk. “Bangun sayang,” ucap saya. Setelah menepuk-nepuk lembut dan menciumi
pipinya, jagoan kecilku ini pun membuka matanya yang indah. Mata yang sejak
kecil saya anggap sebagai kejora karena beningnya. Mata yang selalu memberikan
kerling mungil ketika dia masih bayi. Mata yang membuatnya selalu nampak
sempurna bagiku. Gara-gara mata pula, jagoan kecilku ini hanya mau makan sayur
wortel daripada sayuran yang lain.
Sejatinya, buah hatiku
tidak pernah suka makan sayuran. Hanya wortel yang bisa masuk ke mulutnya. Ketika
masih balita, setiap kusediakan sup wortel, saya selalu mengatakan bahwa wortel
sangat baik untuk mata agar kelihatan bersinar. Dengan nada penuh sugesti saya
selalu menyuapi sayur wortel sambil mengatakan, “Hmm, segar dan enak ya
wortelnya. Ayo di-maem yuk. Abis maem wortel mata Adik (sebutan kesayangan
untuk anakku) pasti bersinar. Nah, tuh kan sekarang bersinar..,” ucapku kala
itu.
Karena itulah, hingga
usia sepuluh tahun ini, anak saya hanya suka sayur wortel. Sayur lain…dijamin
hanya dilewatinya. Apapun bentuk dan rupa maupun olahannya.
Sayangnya, sugesti saya
ternyata tak begitu berhasil. Walau hanya wortel yang disukai, namun anak saya
tetap saja tak menjadikan wortel sebagai bagian dari makanan favoritnya. Jika dipaksa
saja, barulah dia akan melahap wortel yang disediakan.
Karena itu, tak heran
jika kini matanya menjadi minus satu setengah. Sudah sebulan ini, anakku
terpaksa harus memakai kacamata. Untunglah, dia mau dan senang memakainya walau
sebenarnya, anak saya sempat ogah untuk berkacamata. Menurutnya, orang yang
memakai kacamata minus terlihat cupu dan sering dianggap nggak keren.
Namun, yang terjadi
ternyata sebaliknya. Sehari memakai kacamata, sepulang sekolah, anak saya
bercerita bahwa dia dipuji oleh teman-temannya karena dianggap makin ganteng
mirip artis jika memakai kacamata. Ucapannya ini tentu saja membuat saya dan
suami sedikit lega. Paling tidak, kekhawatiran saya karena takut dia tak
percaya diri dengan berkacamata menjadi hilang. Sebaliknya, saya makin
memotivasinya agar bisa semakin fokus ketika belajar. Begitu juga, keluhan mata
sakit ketika melihat tulisan di papan tulis akan berkurang.
Ah, lamunan saya menjadi
kemana-mana. Bergegas saya kembali pada buah hati semata wayang saya yang kini
telah berdiri sambil mengucek matanya. Walau mengeluh masih ngantuk, anak saya ini
tak patah semangat untuk melangkahkan kaki ke kamar mandi. Air hangat yang
sudah saya siapkan di dalam kamar mandi membuatnya tak takut bakal kedinginan
ketika badanya terguyur air.
Sembari buah hati saya mandi,
saya membuka lemari es dan mengambil sepapan tempe khas Malang yang saya bawa
sepulang dari kota wisata Batu dua hari lalu. Setelah saya potong tipis-tipis
dan membaurinya dengan bumbu garam dan bawang putih, saya pun menggorengnya ke
dalam wajan yang telah berisi minyak panas.
Menggoreng tempe tidaklah
sulit dan tentu saja tak membutuhkan waktu yang lama. Sepuluh menit kemudian
sudah selesai kegiatan menggorengnya. Tempe matang dan hangat telah siap di
piring dan saya letakkan di atas meja makan menemani teh hangat yang telah siap
duluan.
Bersamaan dengan itu
pula, buah hati saya sudah keluar dari kamar mandi dengan badannya yang segar
dan dibungkus handuk yang hangat. Sambil melangkah, dia nyeletuk, “Nggoreng
tempe ya Bu?” Tanpa menunggu jawabannya saya, tangannya langsung menyambar sepotong
tempe hangat tersebut dan mengunyahnya hingga habis.
Anakku memang doyan makan
tempe goreng. Apalagi jika tempenya khas dari Malang. Tempe Malang terkenal
akan keasliannya dari kedele tanpa campuran apapun kecuali raginya. Bagi keluarga
kami, tempe Malang paling enak digoreng dan disantap hangat untuk kudapan di
pagi hari sambil minum teh. Jika sudah begini, sekali makan, suami ataupun
anakku bisa menghabiskan lima sampai enam potong tempe. Cukup mengenyangkan
untuk sarapan pagi. Apalagi ditambah teh manis hangat, makin nikmatlah kudapan
itu.
Saya pun menyiapkan seragam
sekolah. Kebetulan, hari itu adalah hari Selasa. Seragam sekolah yang harus
dikenakan anakku masih setelan merah putih lengkap dengan dasi. Tak lupa
sebelumnya telah saya siapkan celana dan kaos dalam serta kaos kaki untuk ia
kenakan.
Sekolah di SD Islam yang
bukan negeri membuat sekolah tersebut punya banyak otonomi. Karena itu, tak
heran bila banyak hal yang di –create sekolah anakku agar kelihatan menarik
namun tetap inovatif. Salah satu yang saya anggap kreatif adalah seragam sekolah
yang mereka kenakan. Setidaknya dalam lima hari sekolah ditambah sehari
ekstrakurikuler, anakku punya empat macam seragam seperti merah putih, hijau
putih, hijau batik, dan cokelat pramuka yang dikenakan secara bergantian sesuai
jadwal yang ditentukan.
Setelah menghabiskan
sepotong tempe, sambil memegang handuk yang masih membungkus sebagian tubuhnya,
anakku pun menyeruput teh hangat yang telah kusiapkan. Setelah itu, ia bergegas
ke kamar untuk memakai seragam. Lima belas menit kemudian, anakku sudah
terlihat rapi dan gagah dengan seragam plus atributnya yang menempel di badan.
Lagi-lagi, dia menuju
meja makan. Mengambil beberapa potong tempe goreng yang kemudian diletakkannya
di sebuah piring kecil, dia pun melangkah ke ruang keluarga. Diletakkannya piring
berisi potongan tempe tersebut ke meja kaca dan dia memilih duduk di sofa yang
berada di belakang meja tersebut.
Dengan tangan kiri
memegang remote dan menyalakan tv yang ada di depannya, tangan kanannya kembali
menyambar tempe goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya. Dikunyahnya sepotong
dua potong hingga tak terasa empat potong sudah habis dilahapnya. Sembari itu
pula, matanya tak berkedip menatap tayangan film kartun yang ada di televisi.
Usai menghabiskan
potongan terakhir tempe gorengnya, anakku pun menoleh ke jam dinding yang ada
di ruang keluarga tersebut. Masih pukul enam lebih lima belas menit. Anakku pun
beranjak dari sofa dan kembali menuju meja makan. Setelah menyeruput beberapa
teguk teh hangat, dia pun melangkahkan kaki ke kamar pribadinya.
Dari ruang keluarga,
kulihat anakku sedang berdiri di depan meja belajarnya. Dia mengambil tas
sekolah, memeriksa buku-bukunya beberapa saat, hingga kemudian men’cangklong’kan
tas ranselnya tersebut di atas pundak. Sebelum
keluar dari kamar pribadinya, anakku berdiri di depan cermin beberapa saat.
Diambilnya sisir yang
menggantung di dekat cermin, kemudian ia rapikanlah rambutnya. Setelah menyisir
rambut, dia sentuh kembali seragam dan dasinya untuk memastikan semuanya rapi
dan sempurna. Terakhir, diambilnya kacamata baru, dan dipakainya. Sempurna,
begitu mungkin pikir anakku saat itu.
Keluar dari kamar,
kembali mata anakku menatap jam dinding yang ada di ruang keluarga. Tepat pukul
setengah tujuh kurang lima menit. Dengan langkah yang mantap, anakku langsung
mengambil sepatu sekolahnya dan menuju ke teras rumah. Setelah memakai sepatu,
dia langsung menghampiri sepeda poligon warna putih yang sebelumnya telah
kusiapkan dari garasi mobil rumah kami.
Hari ini, anakku
berangkat sekolah dengan naik sepeda sendiri. Hal ini biasa ia lakukan jika
badannya tak terlalu capek. Apalagi jarak rumah dan sekolah tempat ia menuntut
ilmu tidak terlalu jauh. Hanya dalam waktu 8-10 menit naik sepeda, anakku sudah
akan sampai di sekolah.
Selesai memakai sepatu,
anakku langsung berpamitan. “Bu, berangkat dulu. Assalamualaikum,” ucapnya sembari
tangannya menyentuh tanganku dan diciumnya. “Waalaikumsalam. Hati-hati, Nak.
Jangan lupa berdoa ya,” ujarku.
Seketika itu juga, anakku
naik di atas sadel sepedanya. Kakinya pun sudah siap mengayuh pedal. Beberapa menit
kemudian, aku sudah menyaksikan, sepeda itu keluar dari pagar rumah kami. Anakku
‘pergi’ sementara demi menuntut ilmu bagi kehidupannya kelak.
Semoga engkau menjadi
anak yang hebat, Nak. Anak yang tak hanya bisa membahagiakan dan mencukseskan
diri sendiri, tapi juga orang tua dan lingkungannya. Semoga engkau juga menjadi
anak yang sholeh yang tak hanya berbakti pada orang tua tapi juga bangsa dan
negara.
Aku bangga menjadi ibumu.
Walau apa yang aku lakukan masih sebatas mengantarmu dari bangun pagi, sarapan
hingga di depan rumah untuk pergi ke sekolah pagi ini.
Surabaya, Selasa 26
Agustus 2014, 09.44 wib
No comments:
Post a Comment