Tuesday, 26 August 2014

Tempe Goreng & Teh Manis

Pada satu titik, saya merasa seperti seorang ibu yang baik. Bangun sebelum subuh, kemudian menuju dapur, menyalakan kompor untuk mendidihkan air. Tak lama kemudian, adzan subuh berkumandang. Saya menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. 

Menunaikan dua rakaat untuk shalat subuh di awal waktu membuat segala sesuatu dalam diri serasa begitu nikmat. Setelah salam terakhir dan berzikir sebentar, bergegas saya menuju ke dapur, mematikan kompor karena air yang saya masak sudah mendidih.

Saya tuangkan 2 sendok teh penuh kopi hitam ke dalam sebuah cangkir yang telah saya lapisi ‘lepek’. Setelah itu, saya tambahkan 3 sendok teh gula ukuran sedang ke dalamnya. Itulah racikan kopi kesukaan suamiku. Kemudian, saya tuangkan air panas yang telah mendidih tersebut ke dalam cangkir. Hmm, sesaat kemudian, semerbak aroma kopi yang nikmat sudah mampir di hidungku.

Selesai mengaduk secangkir kopi manis untuk suami, saya langsung menyiapkan gelas yang lain untuk membuat teh manis hangat untuk lelaki kecilku. Dia adalah buah hati semata wayangku. Bisa ditebak, karena dia anak tunggal, maka seluruh kasih sayangku bertumpu padanya. Apa yang disukainya, saya selalu tahu. Apa yang dipikirkannya, saya pasti bisa menebaknya. 

Andai boleh berpikir muluk, saya pasti akan mengatakan jika jagoan kecilku yang kini sudah berusia 10 tahun ini adalah hidupku. Bagi saya, dia adalah sosok penyemangat dan energi yang membuat saya tetap hidup. Senyumnya, cerianya, tertawanya bahkan ngambeknya seolah semua menjadi surga bagi saya.

Saya jadi ingat, ketika suami saya protes karena cemburu dengan sikap saya yang sering mendahulukan anak tunggal saya daripada dia. Dengan merajuk, dia bertanya kenapa sekarang dia menjadi nomor dua setelah anakku. Menyediakan makanan selalu setelah anak, bahkan menemani tidur, selalu menunggu saya selesai bercengkerama dan si kecil terlelap dalam tidur.  
Sikap inilah yang membuat suami saya langsung berkesimpulan, “Ternyata memang benar kata orang. Jika sudah punya anak, suami atau istri menjadi nomer dua,” ujarnya.
Ah, rasanya jadi tambah tersipu jika ingat itu semua. Saya pun meraih gelas yang berada di atas rak dapur. Gelas kaki ukuran tanggung berwarna bening kaca pun telah bertengger di atas meja. Sambil menuangkan air panas, saya langsung menyambar sebuah teh celup dan saya celupkan ke dalam air panas dalam gelas tersebut hingga airnya berwarna kuning kecokelatan. Ini tanda teh telah siap tercampur dengan air. Setelah meletakkan ampas sisa teh celup ke dalam wadah, saya pun menuangkan tiga sendok teh gula ke dalam gelas. Aduk-aduk, dan jadilah teh manis panas yang siap diminum.

Sesaat saya menengok jam dinding yang menggantung di ruang keluarga. Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Saya pun bergegas mengambil secangkir kopi dan segelas teh tersebut dan meletakkannya di meja makan yang berada di antara dapur dan ruang keluarga. 

Setelah itu, langkah kaki saya segera saja menuju kamar tidur anak. Setelah membuka pintu, saya langsung menghampiri ‘seonggok daging’ yang terbujur indah di atas kasur biru yang empuk. “Bangun sayang,” ucap saya. Setelah menepuk-nepuk lembut dan menciumi pipinya, jagoan kecilku ini pun membuka matanya yang indah. Mata yang sejak kecil saya anggap sebagai kejora karena beningnya. Mata yang selalu memberikan kerling mungil ketika dia masih bayi. Mata yang membuatnya selalu nampak sempurna bagiku. Gara-gara mata pula, jagoan kecilku ini hanya mau makan sayur wortel daripada sayuran yang lain.

Sejatinya, buah hatiku tidak pernah suka makan sayuran. Hanya wortel yang bisa masuk ke mulutnya. Ketika masih balita, setiap kusediakan sup wortel, saya selalu mengatakan bahwa wortel sangat baik untuk mata agar kelihatan bersinar. Dengan nada penuh sugesti saya selalu menyuapi sayur wortel sambil mengatakan, “Hmm, segar dan enak ya wortelnya. Ayo di-maem yuk. Abis maem wortel mata Adik (sebutan kesayangan untuk anakku) pasti bersinar. Nah, tuh kan sekarang bersinar..,” ucapku kala itu.

Karena itulah, hingga usia sepuluh tahun ini, anak saya hanya suka sayur wortel. Sayur lain…dijamin hanya dilewatinya. Apapun bentuk dan rupa maupun olahannya.

Sayangnya, sugesti saya ternyata tak begitu berhasil. Walau hanya wortel yang disukai, namun anak saya tetap saja tak menjadikan wortel sebagai bagian dari makanan favoritnya. Jika dipaksa saja, barulah dia akan melahap wortel yang disediakan. 

Karena itu, tak heran jika kini matanya menjadi minus satu setengah. Sudah sebulan ini, anakku terpaksa harus memakai kacamata. Untunglah, dia mau dan senang memakainya walau sebenarnya, anak saya sempat ogah untuk berkacamata. Menurutnya, orang yang memakai kacamata minus terlihat cupu dan sering dianggap nggak keren.

Namun, yang terjadi ternyata sebaliknya. Sehari memakai kacamata, sepulang sekolah, anak saya bercerita bahwa dia dipuji oleh teman-temannya karena dianggap makin ganteng mirip artis jika memakai kacamata. Ucapannya ini tentu saja membuat saya dan suami sedikit lega. Paling tidak, kekhawatiran saya karena takut dia tak percaya diri dengan berkacamata menjadi hilang. Sebaliknya, saya makin memotivasinya agar bisa semakin fokus ketika belajar. Begitu juga, keluhan mata sakit ketika melihat tulisan di papan tulis akan berkurang.

Ah, lamunan saya menjadi kemana-mana. Bergegas saya kembali pada buah hati semata wayang saya yang kini telah berdiri sambil mengucek matanya. Walau mengeluh masih ngantuk, anak saya ini tak patah semangat untuk melangkahkan kaki ke kamar mandi. Air hangat yang sudah saya siapkan di dalam kamar mandi membuatnya tak takut bakal kedinginan ketika badanya terguyur air.

Sembari buah hati saya mandi, saya membuka lemari es dan mengambil sepapan tempe khas Malang yang saya bawa sepulang dari kota wisata Batu dua hari lalu. Setelah saya potong tipis-tipis dan membaurinya dengan bumbu garam dan bawang putih, saya pun menggorengnya ke dalam wajan yang telah berisi minyak panas.
Menggoreng tempe tidaklah sulit dan tentu saja tak membutuhkan waktu yang lama. Sepuluh menit kemudian sudah selesai kegiatan menggorengnya. Tempe matang dan hangat telah siap di piring dan saya letakkan di atas meja makan menemani teh hangat yang telah siap duluan.

Bersamaan dengan itu pula, buah hati saya sudah keluar dari kamar mandi dengan badannya yang segar dan dibungkus handuk yang hangat. Sambil melangkah, dia nyeletuk, “Nggoreng tempe ya Bu?” Tanpa menunggu jawabannya saya, tangannya langsung menyambar sepotong tempe hangat tersebut dan mengunyahnya hingga habis. 

Anakku memang doyan makan tempe goreng. Apalagi jika tempenya khas dari Malang. Tempe Malang terkenal akan keasliannya dari kedele tanpa campuran apapun kecuali raginya. Bagi keluarga kami, tempe Malang paling enak digoreng dan disantap hangat untuk kudapan di pagi hari sambil minum teh. Jika sudah begini, sekali makan, suami ataupun anakku bisa menghabiskan lima sampai enam potong tempe. Cukup mengenyangkan untuk sarapan pagi. Apalagi ditambah teh manis hangat, makin nikmatlah kudapan itu.

Saya pun menyiapkan seragam sekolah. Kebetulan, hari itu adalah hari Selasa. Seragam sekolah yang harus dikenakan anakku masih setelan merah putih lengkap dengan dasi. Tak lupa sebelumnya telah saya siapkan celana dan kaos dalam serta kaos kaki untuk ia kenakan.

Sekolah di SD Islam yang bukan negeri membuat sekolah tersebut punya banyak otonomi. Karena itu, tak heran bila banyak hal yang di –create sekolah anakku agar kelihatan menarik namun tetap inovatif. Salah satu yang saya anggap kreatif adalah seragam sekolah yang mereka kenakan. Setidaknya dalam lima hari sekolah ditambah sehari ekstrakurikuler, anakku punya empat macam seragam seperti merah putih, hijau putih, hijau batik, dan cokelat pramuka yang dikenakan secara bergantian sesuai jadwal yang ditentukan.  

Setelah menghabiskan sepotong tempe, sambil memegang handuk yang masih membungkus sebagian tubuhnya, anakku pun menyeruput teh hangat yang telah kusiapkan. Setelah itu, ia bergegas ke kamar untuk memakai seragam. Lima belas menit kemudian, anakku sudah terlihat rapi dan gagah dengan seragam plus atributnya yang menempel di badan.
Lagi-lagi, dia menuju meja makan. Mengambil beberapa potong tempe goreng yang kemudian diletakkannya di sebuah piring kecil, dia pun melangkah ke ruang keluarga. Diletakkannya piring berisi potongan tempe tersebut ke meja kaca dan dia memilih duduk di sofa yang berada di belakang meja tersebut. 

Dengan tangan kiri memegang remote dan menyalakan tv yang ada di depannya, tangan kanannya kembali menyambar tempe goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya. Dikunyahnya sepotong dua potong hingga tak terasa empat potong sudah habis dilahapnya. Sembari itu pula, matanya tak berkedip menatap tayangan film kartun yang ada di televisi.

Usai menghabiskan potongan terakhir tempe gorengnya, anakku pun menoleh ke jam dinding yang ada di ruang keluarga tersebut. Masih pukul enam lebih lima belas menit. Anakku pun beranjak dari sofa dan kembali menuju meja makan. Setelah menyeruput beberapa teguk teh hangat, dia pun melangkahkan kaki ke kamar pribadinya. 

Dari ruang keluarga, kulihat anakku sedang berdiri di depan meja belajarnya. Dia mengambil tas sekolah, memeriksa buku-bukunya beberapa saat, hingga kemudian men’cangklong’kan tas ranselnya tersebut  di atas pundak. Sebelum keluar dari kamar pribadinya, anakku berdiri di depan cermin beberapa saat. 

Diambilnya sisir yang menggantung di dekat cermin, kemudian ia rapikanlah rambutnya. Setelah menyisir rambut, dia sentuh kembali seragam dan dasinya untuk memastikan semuanya rapi dan sempurna. Terakhir, diambilnya kacamata baru, dan dipakainya. Sempurna, begitu mungkin pikir anakku saat itu.

Keluar dari kamar, kembali mata anakku menatap jam dinding yang ada di ruang keluarga. Tepat pukul setengah tujuh kurang lima menit. Dengan langkah yang mantap, anakku langsung mengambil sepatu sekolahnya dan menuju ke teras rumah. Setelah memakai sepatu, dia langsung menghampiri sepeda poligon warna putih yang sebelumnya telah kusiapkan dari garasi mobil rumah kami.

Hari ini, anakku berangkat sekolah dengan naik sepeda sendiri. Hal ini biasa ia lakukan jika badannya tak terlalu capek. Apalagi jarak rumah dan sekolah tempat ia menuntut ilmu tidak terlalu jauh. Hanya dalam waktu 8-10 menit naik sepeda, anakku sudah akan sampai di sekolah.

Selesai memakai sepatu, anakku langsung berpamitan. “Bu, berangkat dulu. Assalamualaikum,” ucapnya sembari tangannya menyentuh tanganku dan diciumnya. “Waalaikumsalam. Hati-hati, Nak. Jangan lupa berdoa ya,” ujarku.

Seketika itu juga, anakku naik di atas sadel sepedanya. Kakinya pun sudah siap mengayuh pedal. Beberapa menit kemudian, aku sudah menyaksikan, sepeda itu keluar dari pagar rumah kami. Anakku ‘pergi’ sementara demi menuntut ilmu bagi kehidupannya kelak. 

Semoga engkau menjadi anak yang hebat, Nak. Anak yang tak hanya bisa membahagiakan dan mencukseskan diri sendiri, tapi juga orang tua dan lingkungannya. Semoga engkau juga menjadi anak yang sholeh yang tak hanya berbakti pada orang tua tapi juga bangsa dan negara. 

Aku bangga menjadi ibumu. Walau apa yang aku lakukan masih sebatas mengantarmu dari bangun pagi, sarapan hingga di depan rumah untuk pergi ke sekolah pagi ini. 

Surabaya, Selasa 26 Agustus 2014, 09.44 wib

No comments: