Tuesday 16 December 2014

KISAH PENDEKAR: Sapi & Harga Diri



Sejak kecil, saya selalu dihadapkan pada lingkungan yang tak bisa diam. Ayah dan ibu saya seorang pekerja keras. Bahkan, ketika ayah dihadapkan pada sebuah kenyataan sakit parah, ibu tak henti memeras keringat. Membanting tulang demi menghidupi ketujuh anaknya.
Walau sakit, ayahku tak pernah henti untuk mengais rejeki. Pensiun dini dari pegawai negeri karena sakit, dia memilih mencari rejeki dengan jalan yang kadang tak pasti. Namun, ayahku tak pernah mengeluh apalagi dilanda rasa takut. Dialah sosok sabar namun berani mati membela harga diri maupun keluarganya. Tak heran bila suatu ketika ayahku mendapati kenyataan bahwa penghinaan datang padanya, dia pasti akan melawan tanpa pantang menyerah.
Ayahku memang terlahir dari sebuah ordo pendekar. Kakek buyutku dari ayah adalah seorang pendekar tak terkalahkan. Bahkan adik dan kakak-kakak ayahku adalah gerombolan ‘silat’ yang tak terkalahkan. Di kampung dan desa kelahiran ayahku, keluarga ayahku ini memang sangat ditakuti sekaligus disegani.
Ya, ayahku memang punya dua orang adik lelaki dan seorang adik perempuan yang semua sama-sama terpandang dan terkenal akan sepak terjangnya di dunia persilatan di kampungnya. Bahkan, kakekku dari ayah tetaplah seorang jagoan di akhir hayatnya.
Aku masih ingat, ayah pernah cerita jika kakekku meninggal dengan tragis. Meskipun kaya dan punya harta benda yang berlimpah, kakekku masih suka tidur di kandang sapinya. Kakekku memang sangat menjaga sapi-sapinya yang dianggap harta paling berharga itu. Maklum, di desa yang terpencil itu, seseorang dianggap hartawan jika punya ternak sapi yang banyak.
Untuk itulah, kakekku menjadi sangat menjaga sapi-sapi yang sudah berjumlah dua belas ekor itu. Namun naas, suatu malam ada gerombolan pencuri yang masuk dan ingin mencuri sapi-sapi kakekku. Karena seorang pendekar, kakekku pun dengan sigap menghadapi para pencuri tersebut. Senjata klewang yang selalu terselip di pinggangnya, dengan cekatan ia keluarkan.
Dia huyungkan klewang itu ke arah para pencuri. Satu orang tersabet dan jatuh tersungkur. Lagi-lagi dengan cekatan kakekku menyabetkan ke para pencuri dan dua orang pencuri jatuh tersungkur sekaligus. Kakekku mulai terengah. Sehebat apapun dia, namun kakekku menyadari bahwa usia adalah hal alami yang tak bisa ia hindari. Delapan puluh sembilan tahun bukanlah usia yang muda lagi.
Kakekku tak selincah ketika muda dulu. Otot dan bisepnya tak sekuat ketika dia tenar menjadi menjadi pendekar tak terjalahkan. Gerakan dan jurus-jurusnya juga tak secepat kilat seperti dulu. Di usianya yang sudah renta dan dia masih bisa menunjukkan kemampuannya bela diri tentu sebuah kebanggaan tersendiri.
Sayangnya, kali ini kakekku memang benar-benar harus membela diri demi menjaga diri dan harta bendanya, yakni sapi-sapi itu. Bagi kakekku, menjaga para sapi agar tak dicuri adalah sebuah harga mati. “Sapi itu harga diriku,” ujar kakek seperti yang diceritakan ayahku.
Lagi-lagi naas. Walau sekali sabetan dua tiga pencuri mati menggelepar, namun seperti pepatah hilang satu tumbuh seribu. Jumlah pencuri yang datang justru makin banyak. Awalnya kakekku mengira hanya tujuh pencuri yang mengeroyoknya. Nyatanya tidak. Para pencuri makin datang dan datang lagi.
“Ada sekitar lima puluhan pencuri yang datang, Nak. Namun kakekmu bisa menumbangkan hampir separuhnya. Ini terlihat ada dua puluhan yang tergeletak tanpa nyawa,” cerita ayahku lagi.
Lagi-lagi ayahku mengatakan bahwa kakekku memang sudah tua. Nafasnya juga sudah terengah-engah. Jikalau kakekku bisa menghadapi gerombolan pencuri itu, tentu sebuah kemampuan luar biasa. “Akhirnya kakekmu meninggal dunia, Nak. Ketua gerombolan pencuri itu yang menyabet lehernya dengan sebuah celurit sakti. Kakekmu meninggal dengan cara membanggakan,” ucap Ayahku.
Dan memang benar seperti yang diucapkan ayahku. Semua keluarga tak ada yang menangis dengan kepergian kakekku. Walau ada dendam di dada yang ingin mereka balas kepada sang pencuri, namun mereka tak bersedih dengan kepergian kakekku. Bagi mereka, kakek meninggal dengan penuh kehormatan yang ia jaga.
“Kakekmu mati karena menjaga harga dirinya. Itu sebuah kehormatan bagi kami,” cerita ayahku.
Kakekku memang sudah mati. Jenazahnya sudah diantar di sebuah pemakanan dengan penuh iring-iringan penghormatan. Ribuan ‘pengikut’ atau mungkin boleh dibilang penggemarnya hadir mengantarkannya hingga ke liang lahat.
Jasad kakekku memang sudah terkubur di dalam tanah dan mungkin bongkahan kerikil kecil yang berada di dalamnya. Namun, nama kakekku seperti menjadi sebuah magis bagi masyarakat desa itu.
Tak henti kuburannya dikunjungi orang. Tak sedikit yang berusaha meminta berkah dari makam kakekku. Tanah kuburan mereka ceruk segenggam untuk kemudian mereka jadikan jimat. Tak sedikit pula yang kemudian membawa bunga, menaburkannya dan kemudian, si empunya bertapa disana.
“Kakekmu dianggap sakti dan bisa memberi petuah, bahkan ketika dia sudah mati dan hancur tulang belulangnya,” ucap ayahku lagi.
Di masyarakat yang masih kental akan mistiknya, kakekku dianggap daya tarik yang bisa membuat mereka menjadi pendekar dengan kehebatan yang sama seperti kakekku. Dan bagiku, semua itu menjadi tak masuk akal.
Aku masih ingat, saat itu usiaku masih enam tahun. Itu adalah terakhir kali aku bertemu kakekku. Yang aku ingat, kakekku adalah sosok yang lucu dan penuh cerita fantastis dan petualangan. Kakekku pernah bercerita bahwa dia ikut berjuang melawan penjajah. Dengan senjata klewangnya, dia bisa mengalahkan para kompeni yang akan menjarah rumahnya.
Kakek juga menceritakan bagaimana dia sangan mencintai sapi-sapinya. Kala itu, sapi kakekku masih berjumlah lima ekor. Dia rawat sapi-sapi tersebut dengan telaten dan kasih sayang. Dia beri makan dengan rumput hijau yang masih segar. Dia mandikan sendiri sapi-sapi tersebut di sungai dekat kandang dengan penuh hati-hati.
Sesekali, kakek mengajak berbincang sapi-sapi itu layaknya seorang teman. Pernah suatu ketika aku diajaknya memandikan sapi-sapi itu. Dan pada saat itulah, kakek bicara dengan salah satu sapinya. “Kowe adus yo. Ben wangi, mengko ora mambu sapi yen merem karo aku,” ucapnya.
Kakek, juga sangat cekatan memberi makan sapi-sapi miliknya. Sambil mengarahkan rumput hijau ke arah mulut sapi, tangan kirinya mengelus kepala dan punggung sapi-sapi tersebut. Katanya, sapi juga punya perasaan, jadi, harus juga diperlakukan layaknya manusia dengan penuh kasih sayang.
Kakekku juga pernah bicara bahwa sapi juga seperti perempuan. Mereka inginnya dimanja. Diberi perhatian, dirawat, diberi makan dan ditanya kemauannya. Karena itu, sebelum memandikan, kakek pasti akan menanyai sapi-sapinya, apakah hari ini berkenan untuk dimandikan di sungai atau tidak. Kakek akan melihat jawaban para sapi itu dengan isyarat mata sang sapi. “Jika berkedip begini, berarti dia mau,” begitulah jawabannya.
Ah kakek. Tak kusangka, dibalik predikat pendekar yang gagah berani dan kata orang sakti, ternyata engkau sosok yang lembut dan penuh kasih sayang, bahkan pada seekor sapi. Mungkin tak salah bagi ayahku menganggapmu sebagai kakek yang membanggakan…. (bersambung DENDAM TIGA ANAK PENDEKAR)

No comments: