Wednesday, 22 October 2014

KETIKA TIADA SENYUM


Astaghfirullah. Ternyata tak mudah menyembunyikan kesedihan di depan anak sendiri. Begitu mudah kita bersandiwara pada orang lain, bakan mungkin pasangan sendiri seolah semua baik-baik saja. Namun, hal itu tak mudah kulakukan di depan anakku. Kesedihan dan kemarahan yang sedang kurasakan, seolah tak bisa kupendam di depan buah hatiku.
Tentu saja, bukan berarti aku lantas memarahi anakku, namun ekspresi wajahku yang hanya diam dan cemberut sepertinya sulit aku hapus di depan dia. Padahal, seharusnya aku tidak bersikap demikian. Bututnya adalah, aku menjadi tak sabar. Tak sabar menunggu si kecilku tak lekas memakai sepatu sekolahnya, tak sabar melihat dia segera sarapan pagi, tak sabar melihat dia segera menjinjing tas untuk berangkat sekolah. Seolah semua terasa tak sabar dan salah apa yang dilakukan anakku.

Walau mungkin yang dilakukan anakku adalah salah karena tak segera melakukan tugasnya, namun sejatinya yang bersalah adalah aku. Sebagai ibu, aku seharusnya membuat anakku menjadi lebih bersemangat untuk segera melakukan sesuatu. Sebagai ibu yang baik, seharusnya aku menjadi lebih lembut ketika mengajak anakku untuk lebih bergairah menghadapi hari-harinya. Bukan dengan pandangan yang mematahkan spirit dan membuat anakku malah merasa mendapat beban baru.

Beban karena ekspresi sang ibu yang tidak bersahabat, beban karena tak ada support kelembutan yang membuatnya lebih punya spirit yang menggelora, serta beban seolah sang ibu yang harusnya membuatnya ceria, mungkin justru menjadikan pagi harinya menjadi kelabu.

Echa ketika masih usia 8 tahun
Astaghfirullah, ini sungguh tak aku sukai. Namun, lagi-lagi memang terlalu sulit untukku menyembunyikan semua itu di depan buah hatiku. Padahal, aku seorang ibu.
Hingga pagi itu, kuantar anakku berangkat sekolah tanpa ada senyum semangat tersungging di bibirku. Bahkan, hingga tubuh kecil anakku memasuki gerbang sekolah, ekspresi negatif belum juga sirnah dari wajahku. Hingga kemudian, tubuh anakku benar-benar hilang dan tertutup gerbang sekolah, aku merasa ada yang telah terluka di  bagian hidupku.

Ya, anakku mungkin telah terluka. Terluka karena aku telah menorehkan ekspresi negatif sepanjang pagi ini. Padahal, seharusnya aku memberikan butir-butir senyum keindahan dan kata-kata lembut yang bisa ia jadikan spirit sebelum berangkat sekolah. Sebagai ibu yang baik, aku seharusnya mengucapkan kalimat-kalimat santun dan menggugah semangatnya menjadi lebih baik sebelum ia berjuang di medan pendidikan.
Kini anakku sudah benar-benar hilang dari pandanganku. Gerbang sekolah sudah tertutup rapat dan membuat bayangannya pun sama sekali tak terlihat. Kini, yang kulihat justru berganti bayanganku sendiri. Bayangan penuh penyesalan karena belum bisa memberi yang terbaik untuk anakku tercinta. Maafkan ibu, Nak. Tak seharusnya ibu memperlakukanmu seperti ini. Kini, ibu hanya bisa berdoa semoga kamu bisa tenang dan lancar berjuang di sekolah. Berjung untuk menuntut ilmu dengan bahagia tanpa harus merasa terbebani oleh hal negatif yang mungkin juga yang kamu rasakan pagi ini.
Ibu berjanji, hal ini tak akan terjadi lagi. Semoga pagi ini akan membuatku menjadi lebih dewasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, termasuk orang di sekitarmu, termasuk ibumu ini, itu semua adalah sebuah proses pendewasaan yang akan membuat kamu menjadi anak yang lebih baik.

I love u my son
23 Oktober 2014. 07.30

No comments: