Astaghfirullah.
Ternyata tak mudah menyembunyikan kesedihan di depan anak sendiri. Begitu mudah
kita bersandiwara pada orang lain, bakan mungkin pasangan sendiri seolah semua
baik-baik saja. Namun, hal itu tak mudah kulakukan di depan anakku. Kesedihan dan
kemarahan yang sedang kurasakan, seolah tak bisa kupendam di depan buah hatiku.
Tentu
saja, bukan berarti aku lantas memarahi anakku, namun ekspresi wajahku yang
hanya diam dan cemberut sepertinya sulit aku hapus di depan dia. Padahal,
seharusnya aku tidak bersikap demikian. Bututnya adalah, aku menjadi tak sabar.
Tak sabar menunggu si kecilku tak lekas memakai sepatu sekolahnya, tak sabar
melihat dia segera sarapan pagi, tak sabar melihat dia segera menjinjing tas
untuk berangkat sekolah. Seolah semua terasa tak sabar dan salah apa yang
dilakukan anakku.
Walau
mungkin yang dilakukan anakku adalah salah karena tak segera melakukan
tugasnya, namun sejatinya yang bersalah adalah aku. Sebagai ibu, aku seharusnya
membuat anakku menjadi lebih bersemangat untuk segera melakukan sesuatu. Sebagai
ibu yang baik, seharusnya aku menjadi lebih lembut ketika mengajak anakku untuk
lebih bergairah menghadapi hari-harinya. Bukan dengan pandangan yang mematahkan
spirit dan membuat anakku malah merasa mendapat beban baru.
Beban
karena ekspresi sang ibu yang tidak bersahabat, beban karena tak ada support
kelembutan yang membuatnya lebih punya spirit yang menggelora, serta beban
seolah sang ibu yang harusnya membuatnya ceria, mungkin justru menjadikan pagi
harinya menjadi kelabu.
Echa ketika masih usia 8 tahun |
Astaghfirullah,
ini sungguh tak aku sukai. Namun, lagi-lagi memang terlalu sulit untukku
menyembunyikan semua itu di depan buah hatiku. Padahal, aku seorang ibu.
Hingga
pagi itu, kuantar anakku berangkat sekolah tanpa ada senyum semangat
tersungging di bibirku. Bahkan, hingga tubuh kecil anakku memasuki gerbang sekolah,
ekspresi negatif belum juga sirnah dari wajahku. Hingga kemudian, tubuh anakku
benar-benar hilang dan tertutup gerbang sekolah, aku merasa ada yang telah terluka
di bagian hidupku.
Ya,
anakku mungkin telah terluka. Terluka karena aku telah menorehkan ekspresi
negatif sepanjang pagi ini. Padahal, seharusnya aku memberikan butir-butir
senyum keindahan dan kata-kata lembut yang bisa ia jadikan spirit sebelum
berangkat sekolah. Sebagai ibu yang baik, aku seharusnya mengucapkan kalimat-kalimat
santun dan menggugah semangatnya menjadi lebih baik sebelum ia berjuang di
medan pendidikan.
Kini
anakku sudah benar-benar hilang dari pandanganku. Gerbang sekolah sudah
tertutup rapat dan membuat bayangannya pun sama sekali tak terlihat. Kini, yang
kulihat justru berganti bayanganku sendiri. Bayangan penuh penyesalan karena
belum bisa memberi yang terbaik untuk anakku tercinta. Maafkan ibu, Nak. Tak seharusnya
ibu memperlakukanmu seperti ini. Kini, ibu hanya bisa berdoa semoga kamu bisa
tenang dan lancar berjuang di sekolah. Berjung untuk menuntut ilmu dengan
bahagia tanpa harus merasa terbebani oleh hal negatif yang mungkin juga yang
kamu rasakan pagi ini.
Ibu
berjanji, hal ini tak akan terjadi lagi. Semoga pagi ini akan membuatku menjadi
lebih dewasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, termasuk
orang di sekitarmu, termasuk ibumu ini, itu semua adalah sebuah proses
pendewasaan yang akan membuat kamu menjadi anak yang lebih baik.
I
love u my son
23
Oktober 2014. 07.30
No comments:
Post a Comment