Thursday, 25 February 2016

Perempuan, Buku & Gaya Hidup

“Kalau gak punya buku, gak keren mbak Ami.” Begitu ucapan salah seorang sahabat saya yang juga berprofesi sebagai desainer yang cukup ternama di Surabaya ini.

Siang itu tiba-tiba, panggil saja ibu Kusuma ini menelepon saya dan meminta saya untuk datang ke kediaman sekaligus butiknya. 

Di hadapan saya, Ibu Kusuma ini menunjukkan beberapa buku yang isinya tentang fashion dan lifestyle. Awalnya saya beranggapan ibu Kusuma ingin diskusi tentang isi buku tersebut.

Maklum, bekerja di media yang bergerak di dunia fashion, saya harus akrab bertemu dengan para desainer dan wajib melahap berbagai informasi seputar mode dan gaya hidup ini. Apalagi, saya notabene tak pernah sekolah mode, maka ketika ada desainer mengajak bertemu, saya sangat bersyukur karena mendapat ilmu baru.  Dari mereka saya bisa mendapat banyak berita baru, data baru hingga bocoran tren terbaru yang dijamin fresh from the oven.

Kembali ke ibu Kusuma, setelah saya diajak buka-buka semua isi buku tersebut, kemudian, beliaunya langsung mengatakan, “Mbak Ami bisa buat seperti ini nggak.” 

Bagi saya yang memang bekerja di media lifestyle sehari-harinya, tentu membuat buku seperti itu tidaklah sulit. Waktu itu saya hanya berfikir, dana untuk mencetak ada, data bisa dikumpulkan, tinggal baju yang harus disiapkan.

Kebetulan buku yang akan dibuat itu adalah buku tentang fashion. Dan kami memutuskan komposisi isi dalam buku tersebut adalah 70 persen foto-foto busana dan 30 persen tulisan. Singkat cerita, jadilah buku pertama kami di’launching’ dengan judul Eksotisme Tenun Lombok.

Praktis,  hampir seratus persen organizing buku tersebut, saya tangani sendiri. Mencari data hingga ke pulau Lombok dan bekerja sama dengan provisi setempat hingga menuangkan dalam tulisan saya lakukan sendiri. 
Sedangkan ibu Kusuma, bertugas menyiapkan busana-busana dari tenun Lombok. Karena memang tujuan awal kami ingin mengangkat tenun Lombok sebagai bagian dari warisan nusantara ternyata bisa disulap menjadi produk yang high fashion quality.

Buku pertama terbit, ternyata tak membuat Ibu Kusuma puas sampai disitu. Sebaliknya, dia kembali meminta saya untuk membuat buku kedua. Saya juga kembali diminta menentukan komposisi isi dari buku tersebut. Kali ini, tema yang akan diangkat adalah batik sasambo.

Di buku pertama, Saya hanya meminta Ibu Kusuma untuk menulis biografi tentang dirinya saja sebagai pelengkap profil penulis. Dari tulisan biografi singkat itu, ternyata saya tak menghabiskan waktu lama untuk editing. Menurut saya, tulisan ibu Kusuma sudah cukup menarik.

Untuk buku yang populer seperti itu, gaya tulisan biografi yang bertutur yang ditulis ibu Kusuma cukup membuat saya puas. Bahasa gaulnya ‘Keren’ untuk penulis pemula yang notabene seorang desainer tanpa background sebagai penulis.

Kembali ke rencana penulisan buku ke-2nya, saya pun mengubah strategi yang berbeda dari buku yang pertama. Bila buku pertama dibiayai sendiri oleh Ibu Kusuma segala sesuatunya, maka di buku ke-2 saya mencoba mencarikan penerbitnya. Dengan adanya penerbit akan membantu meringankan biaya cetak yang dikeluarkan ibu Kusuma.

Karena kesibukan pula, akhirnya saya putuskan untuk membantu ibu Dwi hanya berupa konsep-konsep saja, Toh, saya pikir, buku tersebut lebih banyak foto daripada tulisan. Siapa sangka, dua tahun berlalu, ternyata bu Dwi sudah punya empat buku yang telah terpampang di toko buku Gramedia. Bahkan, terakhir saya bertemu, beliau sedang mengerjakan buku kelimanya.

Dari cerita tentang Bu Kusuma, sebenarnya saya ingin menyampaikan bahwa buku dan perempuan sungguh sangat erat di jaman modern seperti saat ini. Dua tahun lalu, Ibu Kusuma mengatakan kepada saya bahwa dia ingin punya buku karena ingin ‘keren’.  Akhirnya terbukti, dia punya koleksi buku yang tercantum bahwa dialah ‘penulis’nya.

Sebagai salah satu dari perempuan yang hidup di jaman serba modern dan literasi, ibu Kusuma seolah mewakili perempuan bahwa mempunya sebuah karya buku ternyata sebuh prestis dan kebanggan tersendiri. Sebuah eksistensi bagi mereka bahwa perempuan masa kini yang notabene seorang desainer bukan sekedar pintar menjahit, membuat desain, tapi juga bisa mengabadikan karya mode mereka dalam sebuah lembaran kertas yang tercetak lux.

Yang menarik lagi, ketika saya kembali bertemu dengan ibu Kusuma ini, beliau mengatakan bahwa membuat buku dianggapnya sebagai menaikkan citra diri. Buku itu cermin kecerdasan, mungkin itu yang tepat. Jika seorang perempuan bisa punya buku yang ditulisnya sendiri, maka secara tidak langsung dia akan punya lebel perempuan cerdas.

Buku seolah menjadi gaya hidup bagi seorang perempuan, bahwa jika tak menulis buku, maka dianggap nggak gaul, nggak pinter dan nggak hebat. Ibu Kusuma memilih lebih sibuk menyiapkan karya fashion untuk dituangkan ke dalam buku daripada menyiapkan baju untuk sekedar diperagakan di atas catwalk.

Dari buku itu pula yang kemudian, membuat namanya mulai dikenal, follower instagramnya makin banyak, dan secara otomatis bisnis garmentnya makin lancar. Dari buku itu pula, seorang ibu Kusuma mungkin tak bingung untuk mencari pujian, karena pujian itu akan datang dengan sendirinya.

Ternyata, bukan hanya ibu Kusuma yang bersikap demikian, kini makin banyak perempuan yang menulis dan mewujudkannya menjadi sebuah buku. Menulis buku seperti sebuah candu. Jika sudah selesai satu, maka gairah untuk menulis lagi menjadi menggebu. Bahkan, para perempuan yang hidup di kota metropolis saat ini juga mulai mengubah topik pembicaraannya.

Jika dulu hanya ngerumpi yang nggak penting, kini, mereka berubah menjadi saling show off ‘kecerdasan’ dengan cara memamerkan hasil karya. “Buku barunya, launching kapan, Jeng …..?”

*(sudah dipublikasi di buku Boom Literasi) 


No comments: