
Siang itu tiba-tiba, panggil saja ibu Kusuma ini
menelepon saya dan meminta saya untuk datang ke kediaman sekaligus butiknya.
Di
hadapan saya, Ibu Kusuma ini menunjukkan beberapa buku yang isinya tentang
fashion dan lifestyle. Awalnya saya beranggapan ibu Kusuma ingin diskusi
tentang isi buku tersebut.
Maklum, bekerja di media yang bergerak di dunia
fashion, saya harus akrab bertemu dengan para desainer dan wajib melahap
berbagai informasi seputar mode dan gaya hidup ini. Apalagi, saya notabene tak
pernah sekolah mode, maka ketika ada desainer mengajak bertemu, saya sangat
bersyukur karena mendapat ilmu baru. Dari mereka saya bisa mendapat
banyak berita baru, data baru hingga bocoran tren terbaru yang dijamin fresh
from the oven.
Kembali ke ibu Kusuma, setelah saya diajak
buka-buka semua isi buku tersebut, kemudian, beliaunya langsung mengatakan,
“Mbak Ami bisa buat seperti ini nggak.”
Bagi saya yang memang bekerja di media lifestyle
sehari-harinya, tentu membuat buku seperti itu tidaklah sulit. Waktu itu saya
hanya berfikir, dana untuk mencetak ada, data bisa dikumpulkan, tinggal baju
yang harus disiapkan.
Kebetulan buku yang akan dibuat itu adalah buku
tentang fashion. Dan kami memutuskan komposisi isi dalam buku tersebut adalah
70 persen foto-foto busana dan 30 persen tulisan. Singkat cerita, jadilah buku
pertama kami di’launching’ dengan judul Eksotisme Tenun Lombok.
Praktis, hampir seratus persen organizing
buku tersebut, saya tangani sendiri. Mencari data hingga ke pulau Lombok dan
bekerja sama dengan provisi setempat hingga menuangkan dalam tulisan saya
lakukan sendiri.
Sedangkan ibu Kusuma, bertugas menyiapkan
busana-busana dari tenun Lombok. Karena memang tujuan awal kami ingin
mengangkat tenun Lombok sebagai bagian dari warisan nusantara ternyata bisa
disulap menjadi produk yang high fashion quality.
Buku pertama terbit, ternyata tak membuat Ibu
Kusuma puas sampai disitu. Sebaliknya, dia kembali meminta saya untuk membuat
buku kedua. Saya juga kembali diminta menentukan komposisi isi dari buku
tersebut. Kali ini, tema yang akan diangkat adalah batik sasambo.
Di buku pertama, Saya hanya meminta Ibu Kusuma
untuk menulis biografi tentang dirinya saja sebagai pelengkap profil penulis.
Dari tulisan biografi singkat itu, ternyata saya tak menghabiskan waktu lama
untuk editing. Menurut saya, tulisan ibu Kusuma sudah cukup menarik.
Untuk buku yang populer seperti itu, gaya tulisan
biografi yang bertutur yang ditulis ibu Kusuma cukup membuat saya puas. Bahasa
gaulnya ‘Keren’ untuk penulis pemula yang notabene seorang desainer tanpa
background sebagai penulis.
Kembali ke rencana penulisan buku ke-2nya, saya
pun mengubah strategi yang berbeda dari buku yang pertama. Bila buku pertama
dibiayai sendiri oleh Ibu Kusuma segala sesuatunya, maka di buku ke-2 saya
mencoba mencarikan penerbitnya. Dengan adanya penerbit akan membantu
meringankan biaya cetak yang dikeluarkan ibu Kusuma.
Karena kesibukan pula, akhirnya saya putuskan
untuk membantu ibu Dwi hanya berupa konsep-konsep saja, Toh, saya pikir, buku
tersebut lebih banyak foto daripada tulisan. Siapa sangka, dua tahun berlalu,
ternyata bu Dwi sudah punya empat buku yang telah terpampang di toko buku
Gramedia. Bahkan, terakhir saya bertemu, beliau sedang mengerjakan buku
kelimanya.
Dari cerita tentang Bu Kusuma, sebenarnya saya
ingin menyampaikan bahwa buku dan perempuan sungguh sangat erat di jaman modern
seperti saat ini. Dua tahun lalu, Ibu Kusuma mengatakan kepada saya bahwa dia
ingin punya buku karena ingin ‘keren’. Akhirnya terbukti, dia punya
koleksi buku yang tercantum bahwa dialah ‘penulis’nya.
Sebagai salah satu dari perempuan yang hidup di
jaman serba modern dan literasi, ibu Kusuma seolah mewakili perempuan bahwa
mempunya sebuah karya buku ternyata sebuh prestis dan kebanggan tersendiri.
Sebuah eksistensi bagi mereka bahwa perempuan masa kini yang notabene seorang
desainer bukan sekedar pintar menjahit, membuat desain, tapi juga bisa
mengabadikan karya mode mereka dalam sebuah lembaran kertas yang tercetak lux.
Yang menarik lagi, ketika saya kembali bertemu
dengan ibu Kusuma ini, beliau mengatakan bahwa membuat buku dianggapnya sebagai
menaikkan citra diri. Buku itu cermin kecerdasan, mungkin itu yang tepat. Jika
seorang perempuan bisa punya buku yang ditulisnya sendiri, maka secara tidak
langsung dia akan punya lebel perempuan cerdas.
Buku seolah menjadi gaya hidup bagi seorang
perempuan, bahwa jika tak menulis buku, maka dianggap nggak gaul, nggak pinter
dan nggak hebat. Ibu Kusuma memilih lebih sibuk menyiapkan karya fashion untuk
dituangkan ke dalam buku daripada menyiapkan baju untuk sekedar diperagakan di
atas catwalk.
Dari buku itu pula yang kemudian, membuat namanya
mulai dikenal, follower instagramnya makin banyak, dan secara otomatis bisnis
garmentnya makin lancar. Dari buku itu pula, seorang ibu Kusuma mungkin tak
bingung untuk mencari pujian, karena pujian itu akan datang dengan sendirinya.
Ternyata, bukan hanya ibu Kusuma yang bersikap
demikian, kini makin banyak perempuan yang menulis dan mewujudkannya menjadi
sebuah buku. Menulis buku seperti sebuah candu. Jika sudah selesai satu, maka
gairah untuk menulis lagi menjadi menggebu. Bahkan, para perempuan yang hidup
di kota metropolis saat ini juga mulai mengubah topik pembicaraannya.
Jika dulu hanya ngerumpi yang nggak penting,
kini, mereka berubah menjadi saling show off ‘kecerdasan’ dengan cara
memamerkan hasil karya. “Buku barunya, launching kapan, Jeng …..?”
*(sudah
dipublikasi di buku Boom Literasi)
No comments:
Post a Comment