Sejak kecil, saya selalu dihadapkan pada
lingkungan yang tak bisa diam. Ayah dan ibu saya seorang pekerja keras. Bahkan,
ketika ayah dihadapkan pada sebuah kenyataan sakit parah, ibu tak henti memeras
keringat. Membanting tulang demi menghidupi ketujuh anaknya.
Walau sakit, ayahku tak pernah henti untuk mengais
rejeki. Pensiun dini dari pegawai negeri karena sakit, dia memilih mencari rejeki dengan jalan yang kadang tak pasti. Namun, ayahku tak pernah mengeluh
apalagi dilanda rasa takut. Dialah sosok sabar namun berani mati membela harga
diri maupun keluarganya. Tak heran bila suatu ketika ayahku mendapati kenyataan
bahwa penghinaan datang padanya, dia pasti akan melawan tanpa pantang menyerah.
Ayahku memang terlahir dari sebuah ordo pendekar.
Kakek buyutku dari ayah adalah seorang pendekar tak terkalahkan. Bahkan adik
dan kakak-kakak ayahku adalah gerombolan ‘silat’ yang tak terkalahkan. Di
kampung dan desa kelahiran ayahku, keluarga ayahku ini memang sangat ditakuti
sekaligus disegani.
Ya, ayahku memang punya dua orang adik lelaki dan
seorang adik perempuan yang semua sama-sama terpandang dan terkenal akan sepak
terjangnya di dunia persilatan di kampungnya. Bahkan, kakekku dari ayah
tetaplah seorang jagoan di akhir hayatnya.
Aku masih ingat, ayah pernah cerita jika kakekku
meninggal dengan tragis. Meskipun kaya dan punya harta benda yang berlimpah,
kakekku masih suka tidur di kandang sapinya. Kakekku memang sangat menjaga
sapi-sapinya yang dianggap harta paling berharga itu. Maklum, di desa yang
terpencil itu, seseorang dianggap hartawan jika punya ternak sapi yang banyak.
Untuk itulah, kakekku menjadi sangat menjaga
sapi-sapi yang sudah berjumlah dua belas ekor itu. Namun naas, suatu malam ada
gerombolan pencuri yang masuk dan ingin mencuri sapi-sapi kakekku. Karena
seorang pendekar, kakekku pun dengan sigap menghadapi para pencuri tersebut.
Senjata klewang yang selalu terselip di pinggangnya, dengan cekatan ia
keluarkan.
Dia huyungkan klewang itu ke arah para pencuri.
Satu orang tersabet dan jatuh tersungkur. Lagi-lagi dengan cekatan kakekku
menyabetkan ke para pencuri dan dua orang pencuri jatuh tersungkur sekaligus.
Kakekku mulai terengah. Sehebat apapun dia, namun kakekku menyadari bahwa usia
adalah hal alami yang tak bisa ia hindari. Delapan puluh sembilan tahun
bukanlah usia yang muda lagi.
Kakekku tak selincah ketika muda dulu. Otot dan
bisepnya tak sekuat ketika dia tenar menjadi menjadi pendekar tak terjalahkan.
Gerakan dan jurus-jurusnya juga tak secepat kilat seperti dulu. Di usianya yang
sudah renta dan dia masih bisa menunjukkan kemampuannya bela diri tentu sebuah
kebanggaan tersendiri.
Sayangnya, kali ini kakekku memang benar-benar
harus membela diri demi menjaga diri dan harta bendanya, yakni sapi-sapi itu.
Bagi kakekku, menjaga para sapi agar tak dicuri adalah sebuah harga mati. “Sapi
itu harga diriku,” ujar kakek seperti yang diceritakan ayahku.
Lagi-lagi naas. Walau sekali sabetan dua tiga
pencuri mati menggelepar, namun seperti pepatah hilang satu tumbuh seribu.
Jumlah pencuri yang datang justru makin banyak. Awalnya kakekku mengira hanya
tujuh pencuri yang mengeroyoknya. Nyatanya tidak. Para pencuri makin datang dan
datang lagi.
“Ada sekitar lima puluhan pencuri yang datang,
Nak. Namun kakekmu bisa menumbangkan hampir separuhnya. Ini terlihat ada dua
puluhan yang tergeletak tanpa nyawa,” cerita ayahku lagi.
Lagi-lagi ayahku mengatakan bahwa kakekku memang
sudah tua. Nafasnya juga sudah terengah-engah. Jikalau kakekku bisa menghadapi
gerombolan pencuri itu, tentu sebuah kemampuan luar biasa. “Akhirnya kakekmu
meninggal dunia, Nak. Ketua gerombolan pencuri itu yang menyabet lehernya
dengan sebuah celurit sakti. Kakekmu meninggal dengan cara membanggakan,” ucap
Ayahku.
Dan memang benar seperti yang diucapkan ayahku.
Semua keluarga tak ada yang menangis dengan kepergian kakekku. Walau ada dendam
di dada yang ingin mereka balas kepada sang pencuri, namun mereka tak bersedih
dengan kepergian kakekku. Bagi mereka, kakek meninggal dengan penuh kehormatan
yang ia jaga.
“Kakekmu mati karena menjaga harga dirinya. Itu
sebuah kehormatan bagi kami,” cerita ayahku.
Kakekku memang sudah mati. Jenazahnya sudah
diantar di sebuah pemakanan dengan penuh iring-iringan penghormatan. Ribuan
‘pengikut’ atau mungkin boleh dibilang penggemarnya hadir mengantarkannya
hingga ke liang lahat.
Jasad kakekku memang sudah terkubur di dalam
tanah dan mungkin bongkahan kerikil kecil yang berada di dalamnya. Namun, nama
kakekku seperti menjadi sebuah magis bagi masyarakat desa itu.
Tak henti kuburannya dikunjungi orang. Tak
sedikit yang berusaha meminta berkah dari makam kakekku. Tanah kuburan mereka
ceruk segenggam untuk kemudian mereka jadikan jimat. Tak sedikit pula yang
kemudian membawa bunga, menaburkannya dan kemudian, si empunya bertapa disana.
“Kakekmu dianggap sakti dan bisa memberi petuah, bahkan ketika dia sudah mati dan hancur tulang belulangnya,” ucap ayahku lagi.
“Kakekmu dianggap sakti dan bisa memberi petuah, bahkan ketika dia sudah mati dan hancur tulang belulangnya,” ucap ayahku lagi.
Di masyarakat yang masih kental akan mistiknya,
kakekku dianggap daya tarik yang bisa membuat mereka menjadi pendekar dengan
kehebatan yang sama seperti kakekku. Dan bagiku, semua itu menjadi tak masuk
akal.
Aku masih ingat, saat itu usiaku masih enam
tahun. Itu adalah terakhir kali aku bertemu kakekku. Yang aku ingat, kakekku
adalah sosok yang lucu dan penuh cerita fantastis dan petualangan. Kakekku
pernah bercerita bahwa dia ikut berjuang melawan penjajah. Dengan senjata
klewangnya, dia bisa mengalahkan para kompeni yang akan menjarah rumahnya.
Kakek juga menceritakan bagaimana dia sangan
mencintai sapi-sapinya. Kala itu, sapi kakekku masih berjumlah lima ekor. Dia
rawat sapi-sapi tersebut dengan telaten dan kasih sayang. Dia beri makan dengan
rumput hijau yang masih segar. Dia mandikan sendiri sapi-sapi tersebut di
sungai dekat kandang dengan penuh hati-hati.
Sesekali, kakek mengajak berbincang sapi-sapi itu
layaknya seorang teman. Pernah suatu ketika aku diajaknya memandikan sapi-sapi
itu. Dan pada saat itulah, kakek bicara dengan salah satu sapinya. “Kowe adus
yo. Ben wangi, mengko ora mambu sapi yen merem karo aku,” ucapnya.
Kakek, juga sangat cekatan memberi makan
sapi-sapi miliknya. Sambil mengarahkan rumput hijau ke arah mulut sapi, tangan
kirinya mengelus kepala dan punggung sapi-sapi tersebut. Katanya, sapi juga
punya perasaan, jadi, harus juga diperlakukan layaknya manusia dengan penuh
kasih sayang.
Kakekku juga pernah bicara bahwa sapi juga
seperti perempuan. Mereka inginnya dimanja. Diberi perhatian, dirawat, diberi
makan dan ditanya kemauannya. Karena itu, sebelum memandikan, kakek pasti akan
menanyai sapi-sapinya, apakah hari ini berkenan untuk dimandikan di sungai atau
tidak. Kakek akan melihat jawaban para sapi itu dengan isyarat mata sang sapi.
“Jika berkedip begini, berarti dia mau,” begitulah jawabannya.
Ah kakek. Tak kusangka, dibalik predikat pendekar
yang gagah berani dan kata orang sakti, ternyata engkau sosok yang lembut dan
penuh kasih sayang, bahkan pada seekor sapi. Mungkin tak salah bagi ayahku
menganggapmu sebagai kakek yang membanggakan…. (bersambung DENDAM TIGA ANAK
PENDEKAR)
No comments:
Post a Comment